Uncategorized

#Opini 2: Ketenangan, Ketentraman Hati, Dan Keberkahan Tidak Bisa Dibeli Oleh Segunung Uang

Pernahkah kamu menemukan orang di sekelilingmu, yang sebenarnya dia punya potensi untuk medapatkan nilai material lebih besar (Gaji). Namun memilih untuk berprofesi yang dianggap oleh mayoritas kita menilai profesi tersebut sangat “Tidak Banget” untuk sekelas kapasitasnya. Seperti sekolah hingga S2, S3 namun memilih untuk mengajar di kampung, dengan nilai nominal gaji yang jauh di bawah dari pada umumnya gelar tersebut.

Aku pernah merasa heran pada beberapa orang di sekeliling. Ada beberapa orang:

Alm. Abah Mukhlas (Kiyai saya di Pesantren), beliau lulusan terbaik Al Azhar, yang sempat ditawari gaji ratusan juta untuk menjadi Dewan Pengawas Syariah (DPS). Satu kisah, beliau memberikan satu fatwa permasalahan hukum fiqh muamalat di suatu bank, tapi tidak menagih gajinya. Malah memilih jalan ninjanya untuk mengajar santri-santri, dan mengayomi masyarakat di bawah kaki gunung Slamet, Benda – Brebes. Menolak untuk menjadi ASN yang kata banyak orang, “Kalau udah jadi ASN hidupnya akan terjamin”.

Ada senior yang satu grup perusahaan denganku, bercerita bahwa proyek yang dulu ia pegang bisa miliaran bahkan triliunan. Menjadi orang kepercayaan jenderal bintang tiga. Belum bekerja saja sudah dikasih uang tebal. Setelah kerjaan selesai jangan ditanya, makin tebal. Bahkan saat pengadaan barang kebutuhan proyek atau kantornya, sangat sering sisa uang, bisa 2-4 kali UMR Jakarta dikasih cuma-cuma begitu saja untuk dia. Sekarang, sibuk dengan mengurusi masjid dan segala aspek sosial lainnya, yang secara nominal sangat jauh dari pada pekerjaan sebelumnya.

Ada teman kantor, dia sudah melalang buana berbisnis yang beromset ratusan juta, entah bagaimana langkah kakinya terhenti di lembaga zakat yang gajinya sangat jauh dari keuntungannya dulu.

Ada Asisten Ust. Muhammad Syafii Antonio, yang dulu kerja di korporasi terkenal, memilih berhenti, dan menjadi asisten beliau. Padahal secara nominal material lebih besar daripada sekarang.

Beberapa dari mereka mengatakan nada yang mirip,

“Sewaktu di tempat kerja yang dulu, saya merasa gersang, merasa gelisah, merasa tidak nyaman. Apa-apa habis begitu saja, sholat sering terlewatkan, dan tidak berniat mencari bekal untuk di akhirat. Namun sekarang, saya merasa lebih tenang, aman dan tentram dengan hidup seperti ini”.

Menurut mereka saat ini, bisa menjalankan sholat lima waktu, bisa berjamaah, bisa mengaji, bisa bersedekah dengan tenaga, ilmu, menolong sesama dan segala sesuatu yang baik buat bekal kelak di Akhirat.

Secara material nominal mungkin di sini tidaklah sebesar dulu, namun entah mengapa saya merasa cukup. Saat ada kebutuhan berkaitan materi entah untuk A, B dan C, yang bersifat diluar rutinitas, Allah ngasih jalan begitu saja dengan mudah, dan ada saja rezekinya.

Kehidupan yang di laluinya, merasa begitu nikmat. Keluarga sehat, anak soleh, pintar, dan merasa bahagia.

Bagi saya, meyakini bahwa semua ini “adalah rezeki yang barakah”.

Bahkan entah bagaimana ceritanya, saya merasakan itu. Tak hanya saya, ibu saya yang setiap bulan saya kirimi seperti merasakan energi positifnya.

“Zis uang yang kamu berikan ke ibu kok berkah banget yah, secara matematika untuk A, B dan C tidak cukup. Tapi kok cukup bahkan uangnya sisa”

Banyak dari guru-guru saya di Pesantren selalu berpesan, bahwa dunia, materi, uang cukup ditaruh di tangan jangan sampai masuk kedalam hati.

Yap, meski saya belum mengalami fase seperti mereka-mereka yang bisnis, dan kerjanya berpenghasilan sangat fantastis, namun pengalaman-pengalaman mereka adalah guru terbaik untuk diriku juga.

Bahwa, setinggi langit pun uang diturunkan untuk kita, sebesar gunung materi yang kita dapatkan, semua itu tidak dapat membeli kebahagiaan, ketentraman, keamanan dan keberkahan yang kita terima.

Tagged

Leave a Reply

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *