Agama

Ternyata, Semua Kebaikan dan Kejahatan Kita Ditentukan Oleh Hati

Di sudut surau, setelah berkangen-kangenan dengan sang pemilik alam semesta empat rakaat malam, sholat Isya. Kakiku hendak bertemu dengan sendal, suara keluar cukup lantang dari lelaki yang rupanya sang imam masjid, nyaring suara hingga menahan kakiku untuk melangkah pulang, “tinggal di mana Pak?” tanya laki-laki itu, sembari mengayunkan tangannya ke depan seolah memberi isyarat pertanyaan itu untukku. Frekuensi suara hingga menerobos barisan para bapak yang duduk di dekat gerbang keluar.

Pertanyaan yang memang sudah aku tunggu sejak beberapa hari lalu dari para bapak masjid. Belum segenap satu bulan aku pindah ke rumah baru, ya rumah dengan bangunan yang benar-benar baru dibuat oleh pemiliknya, dan belum seutuhnya aku sebagai pemiliknya, karena masih berstatus ngontrak.

Salah satu alasan memilih rumah baru ini adalah karena dekat dengan masjid. Entah mengapa aku sangat sreg rumah yang dekat dengan masjid, mungkin sudah jadi tabiat dari kecil, rumah bapak dan ibu di kampung cuma lima langkah ke masjid. Hingga aku menikah rumah mertua pun demikian, dekat masjid. Maka seakan sangat ringan kaki melangkah ke masjid untuk berjamaah.

Saking baru dan seringnya aku ke masjid, mungkin membuat jamaah yang lain penasaran di mana gubuk yang aku huni.

“Saya di depan Pak, seberang rumah besar itu” sambil menunjuk rumah yang sangat besar dikelilingi oleh pagar tinggi disertai cctv dan pengamanan ketat, ternyata aku berseberangan dengan rumah pribadi jenderal bintang 1 TNI.

Niat untuk melanjutkan melangkah pun aku hentikan, dan aku memilih untuk menyalami lelaki yang bertanya, dan jamaah lainnya. Serta duduk di beranda masjid. Ya Itung-itung memang pekenalan dengan masyarakat, batinku. Sejatinya aku ingin begini sejak awal pindah, namun pikiranku “orang kota mah kan gue-gue elu-elu, nunggu ditanya aja” dasar pendek sekali pikiranku.

Obrolan-obrolan pun tercipta, karena telinga dibuat oleh sang pencipta lebih banyak dibandingkan mulut. Aku hanya sepatah dua patah berbicara dan bertanya menggali informasi tentang lingkungan. Belajar menjadi pendengar yang baik dan bijak.

Hingga tiba lelaki yang imam tersebut, berusaha untuk meminta aku membantu merawat masjid. Memimpin sholat dan keesokannya untuk bisa memimpin yasin dan tahlil, pada malam Jum’at. Kata guruku, jika sudah dipersilahkan dan dipercayai oleh orang maka berusaha tidak mengecewakan. Maka aku iya kan diiringi dengan kata Insya Allah.

Kata demi kata, kalimat demi kalimat tercipta dari masing-masing bibir kita bapak-bapak yang duduk di beranda masjid, hingga perlahan semua pamit. Sampai tiba, tersisa aku dan sang imam masjid di beranda. Obrolan makin panjang, hingga sang imam bercerita masa kelamnya waktu muda.

Mulai dari minum, main judi, sampai dekat dengan pelacur ia ceritakan. Entah mengapa, aku yang orang baru bisa dipercaya ia untuk mendengarkan cerita kelamnya. Hingga kini ia ditunjuk oleh sang muwaqif (orang yang mewakafkan) masjid untuk merawat dan menghidupkan masjid. Suara lantunan Al Qur’an saat mengimami sholat pun sama sekali tak terlihat dari orang yang masa lalunya kelam. Kuakui bagus, bahkan aku musti belajar makhorijul huruf dengan ia.

Hampir setengah jam ia menceritakan masa lalunya. Tiba dititik pertanyaan aku mencuat “Lalu kapan Ust menyadari hal itu salah? Dan memilih untuk berhenti dengan semuanya?” tanya aku, dengan panggilan ust yang aku rasa panggilan itu tepat ditunjukkan kepadanya.

“Loh Pak, sejatinya sedari saya setiap hari saya minum itu ya saya sadar. Bahkan 100% sadar” jawab ia, “sadar kalau itu salah, sadar kalau perbuatan itu berdosa”.

Aku hanya mengerutkan dahi, sembari membatin “loh sadar salah kok dilakukan ya”.

Bak punya indra ke enam, ia tahu aku bergumam dalam hati demikian. Lelaki itu langsung menyambar dengan penjabaran yang membuat aku tersenyum dan sadar.

“Pak, saya sadar cuma hatinya memang sudah terlanjur gelap waktu itu” lanjut lelaki yang rasanya baru berumur 40 tahun ke bawah.

Loh heh, ternyata ia juga yah. Sekelas pejabat yang korupsi, maling motor atau apapun bentuk kejahatannya, aku yakin kalau itu dilakukan dengan sadar. Sadar kalau merugikan orang lain, sadar bahwa itu buruk juga untuk dirinya sendiri.

Semua kesadaran itu, ternyata yang bisa menggerakkan untuk tidak melakukannya adalah ada pada hati, pada Qolbun. Maka dulu Kiyai-Kiyai ku di pesantren selalu nangis, selalu berdoa agar hatinya tidak digelapkan oleh Allah SWT. Karena begitu dahsyatnya kekuatan hati, jika hati gelap, mau dinasihati, mau diberikan apapun yang lebih baik, ya tetap akan melakukan kesalahan.

Pantas saja, aku diajari doa untuk selalu meminta kepada sang pencipta agar selalu senantiasa lurus dalam jalan NYA.

يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِى عَلَى دِينِكَ,

“Wahai Yang Membolak-balikkan Hati, teguhkanlah hatiku senantiasa di atas agama-Mu”.

Ternyata benar, hati ini adalah kunci dari semua perbuatan kita, semua langkah kita, semua gerakan kita. Akal dan jasmani saja bisa mencari berjuta alasan, namun kesucian hati adalah kunci dari perilaku. Begitulah, kita bisa sadar melakukan kesalahan dan kejahatan tapi tidak ada daya kekuatan untuk merubah keadaan, jika hati sudah gelap.

Langkah baik dan buruk seseorang ditentukan oleh hati, maka sebaik-baik manusia rasanya ia adalah manusia yang senantiasa menjaga kebersihan dan kesucian hatinya.

Semoga aku, kita, orang sekitar kita, keluarga, anak keturunan kita selalu diberikan hati yang bersih, selalu kokoh dalam Agama NYA, amin.

Leave a Reply

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *