Inspirasi

Tukang Ojek Islami

Kepulan debu menerpa tubuh ini, setelah turun dari bus jurusan Jakarta hingga Tegal. Kaki menepak persis dijalan paling utara pulau jawa yang panas, Pantura, Brebes. Segerombolan penyedia jasa transportasi pun langsung menyerbu tubuh ku yang lelah oleh perjalanan jauh, seakan dimata mereka, saya adalah makhluk yang berbentuk uang berjalan, yang dapat menyambung hidup mereka. Namun ku hiraukan bujuk rayu mereka. Kaki ini langsung melangkah menuju tempat peribadatan, Masjid Agung Brebes, yang jaraknya tak jauh dari jalan Pantura Brebes.

 

Langsung ku basuhkan air wudlu yang sekan menjadi obat penyegar bagi tubuh ini.  Kulihat jam dinding diatas tempat wudlu menunjukan jarum pendek diangka dua, dan jarum panjang diangka enam, setengah tiga siang. “Masih masuk sholat dzuhur, dan masih cukup untuk jamak ta’dzim” batinku sambil menatap jam dinding. seakan kurang mantap dengan firasatku, ku tanyakan tentang jadwal sholat kepada petugas kebersihan masjid. Yap., ternyata benar firasatku, aku masih bisa mendirikan jamak ta’dzim.

 

Seusai sholat saya pun langsung mencari angkutan umum jurusan Jatibarang, kali ini tak semudah aku dapatkan seprti waktu turun dari bus arah Jakarta yang menawarkan beberapa jasa alat transportasi. Karena aku harus melangkahkan kakiku cukup jauh dari Masjid Agung Brebes hingga menemukan tempat mangkal angkutan umum, mungkin berjarak satu kilometer. Ku dapati beberapa angkutan umum berwarna merah yang menjadi ciri khas angkutan jurusan Brebes – Jatibarang ini sedang mangkal dekat dengan rel kreta api. Langsung kupilih angkutan yang hendak aku tumpangi, dan beberapa menit kemudian ku meluncur.

Tak membutuhkan waktu lama hingga sampai di Jatibarang mungkin berkisar 15 – 30 menit, akhirnya aku pun sampai di Jatibarang. Hmm., rasanya cukup senang aku sampe di Jatibarang ini, karena tak ada lagi macet yang berjumbel, bunyi bunyi klakson kendaraan, panas terik matahari dengan ditambah kepulan asap dari kenalpot, seperti yang selama ini aku alami di kota perantauanku, Jakarta.

 

Aku turun dari angkutan umum warna merah ini, sengaja aku turun didaerah yang cukup sepi untuk penyedia jasa transportasi selanjutnya, bahkan bisa dikata aku turun di tempat yang sama sekali tak ada orang-orang yang berkerumun merebutkan aku. Kalian tak perlu heran, jika kalian berkunjung di daerah jawa, karena kalian bakalan dihadang habis habisan oleh tukang ojek hingga atau tukang bejak saat kalian turun dari bus maupun angkutan umum.

 

Setelah aku turun dari angkutan umum ku berfikir sejenak, memikirkan transportasi apa yang harus gunakan kali ini untuk sampai di rumahku, becak atau ojek. Karena untuk perjalanan pulangku kali ini, tak ada yang bisa untuk menjemputku ditempat pemberhentian angkutan umum. Sebenarnya rumah ku tak jauh dari pemberentihan terakhir angkutan umum, mungkin empat kilo untuk sampai di rumahku, kalau jalan kaki  gemporrr juga. Akhirnya kuputuskan untuk naik ojek.

 

Mungkin ini yang namanya rezeki, tak lama aku turun dari angkutan pas sekali ada tukang ojek yang menawarkan ojek, dan ku beruntung karena hanya seorang tukang ojek yang menawarkan, kan jadi gak bingung buat milih tukang ojeknya 😀 . “Mas ojek mas.,” tawarnya, “iya pak, kalau ke Prumnas bong cina berapa yah ?”tanyaku, karena takut kemahalan. “Terserah sampean ajah, biasanya berapa ?” jawabnya. “Loch ? ko malah terserah ? ko dia gak matok harga yah ?” pikirku dalam hati, karena biasanya mereka (tukang ojek) matok harga dulu, kemudaian  ditawar. “ini malah aku yang suruh menghargai sendiri ?” tambah batinku. “yaudah sepuluh ribu ya pak ?”tanyaku, sambil memastikan. “Iya mas., terserah sampean ajah” tegasnya, sambil mengakhiri obrolan tawar menawar kami berdua.

 

Motor tukang ojek pun dihidupkan dengan menginjak tuas staternya, pengawasan mata dan telingaku tak luput dari  tukang ojek tersebut, bapak itu menghidupkan dengan mengucapkan Bassmallah bisa dibilang itu hal yang lumrah untuk kita kaum muslimin saat hendak melakukan sesuatu. Setelah motor dihidupkan aku pun naik, dan kami jalan. Tak lama aku menaiki motornya, sebuah lantunan doa kembali ia panjatkan, kali ini  telingaku samar samar mendengarkannya  “Serptinya dia baca Alfatihah” batinku sambil masih merasa kagum dengan tukang ojek ini

 

“Mas habis dari mana ? Jakarta ?” tanyanya membuka percakapan baru. “Iya pak dari Jakarta” jawabku.

“Masih rame sama begal dan kejahatan  kejahatan laen mas ?”

“Wah., masih cukup banyak pak, kemaren ajah ada korban penusukan begal motor deket kos kosan ku. Begal yang kemarin dibakar juga daerahnya deket sama daerahku pak” jawabku menerangkan kondisi ibu kota Indonesia.

“Ya Allah, yo wis mas, kalau mau kemana mana itu doa dulu, baca Al fatihah, buat ngelindungiin diri kita dari mala bahaya Al Fatihah itu kan ‘Ummul Kitab’ Ibunya dari Al Qur’an, toh yang namanya musibah siapa yang tahu ? dan yang buat musibah itu cuma Allah, kita sebagai hamba yo kudu mintanya sama Allah”

 “He,em Pak bener” potongku.

“Kalau nggak bisa sampai Al fatihah, ya minimal Bissmillah lah., itu udah yang paling pendek dan paling ringan, kalau kita mau ngurai ‘makna’ Bissmillah mas, itu gak ada habis habisnya, satu Al Qur’an teringkas dalam satu kalimah tersebut”. Terangnya dengan sedikit nada medok ngapak.

 

 

“wahh., ini bukan tukang ojek sembarangan nich, bisa tahu tentang itu dan bisa mengamalkannya” piker dalam batinku.

 

“Pak dulu pernah nyantren dimana ?” tanyaku, karena kata kata yang dikeluarkannya sudah mencuri hatiku.

 

“Nyentren jadi santri sih gak pernah mas, Cuma kalau denger dan tahu dari kiyai itu pernah, ya saya cuma ngikut pengajian biasa mas” jawabnya.

 

Entah jawaban itu adalah salah satu kedok ketawadu’annya sebagai alumni pesantren, entah bukan. Aku tak tahu persis. Bisa saja itu hanya tanda ketawadu’annya, karena kebanyakan santri yang keluar dengan hasil nilai memuaskan, dia akan bersikap tawadu saat keluar. Waallahu ‘alam.

 

“Mas kita itu, sebenarnya hanya disuruh menjalankan atau berpegangan pada tiga mas” Perbicangan kami buka lagi, dengan kalimat yang membuatku penasaran

 

“apa itu pak ?”  Dengan cepat ku memutus penjelasannya saking penasaran J.

 

“ana telu cekelan yang harus kita jalani, berdoa, bersyukur dan sabar”

“Berdoa, Allah kan udah berfirman ‘Ud’unii Astajib Lakum’ ; memintalah kepada KU niscaya akan AKU beri . Sudah jelas Allah akan memberikan jika kita mau minta pada NYA, lah kalau kita jarang sholat, jarang minta, lah ya gusti Allah arep weki apa jal?” dia mencoba menguraikan ketiga aspek itu.

 

“ Kedua itu Bersyukur, ini hal yang cukup sulit bagi kita manusia yang bersifat haus dan kurang puas, padahal Allah sendiri sudah berfirman :      ‘Laa in syakartum laa adzi danakum, walain kafartum inna ‘Adabi lasyadidd’ bersyukurlah engkau pada KU niscaya akan AKU tambahkan nikmatKU, dan jika kau kufur nikmat maka seseungguhnya siksaKU amatlah pedih, yo kui mas kita harus pandai pandai bersyukur, apa yang telah Allah berikan pada kita, kalau kita minta sama Allah dan kalaupun ternyata Allah tak memberi atau memberi yang lain, maka janganlah kita marah sama Allah karena hakikatnya, Allah memberikan apa yang kita butuhkan bukan memberikan apa yang kita minta, bisa jadi yang kita minta adalah sesuatu yang tidak kita butuhkan, Allah lebih tahu tentang itu”

 

“wihh., ini bener bener bukan tukang ojek biasa nich, Tukang ojek islami J” batinku saking terpesona akan petuah yang dikeluarkan seorang tukang ojek.

 

“Yang ketiga mas.,” lanjutnya sambil memastikan kondisiku kalau masih mendengarkannya.

 

“eh., iya pak, apa lagi ?” jawabku sambil pasang muka cukup terheran.

 

“Yang ketiga itu bersabar, ‘Innallaha ma’a Shobirinn’ ; Sesungguhnya Allah bersama dengan orang orang yang sabar. Kita sudah meminta kepada Allah dan kita juga sudah bersukuyur, maka yang  tak kalah penting adalah bersabar. Bersabar dari semua aspek, ibadah, kemiskinan, kekayaan, susah, duka dan lain lain”.

 

“ihh., ya bener., bener tuch pak, sepakat saya. Kita harus cekelan karo telu  aspek mau, Ndonga, syukur karo sabar” tekanku.

 

“ya memang gak mudah untuk mengapai ketiga hal tersebut, tapi kita diwajibkan untuk berusaha, usaha untuk bisa tetep cekelan karo sing telu mau”.Imbuhnya.

 

“Perumahan ini kan mas ? Jatibarang Indah ?” tanyanya, mensadarkanku kalau ternyata sudah masuk ke komplek perumahan.

 

“Oh ya pak, nanti lurus trus pertigaan belok kanan, kemudian belok kiri, rumahnya yang depan masjid pak”jawabku.

 

Setelah sampai depan rumahku, aku pun langsung membayar uang jasa. Sebenarnya tadi aku mau membayarkan uang yang telah kami sepakati secara utuh, namun setelah mendapatkan ilmu tadi yang membuatku bertambah ilmu, ya sudah kulebihkan beberapa uang ke bapak tukang ojek tersebut.

 

Hmm., ini adalah pelajaran bagi kita semua, terkhusus untuk saya pribadi. Selain pelajaran tiga aspek tadi, ndonga, syukur dan sabar. Ada hal yang sangat terpenting dari semua ini, yaitu menghargai orang lain, jangan mengangap sebelah mata orang lain, walaupun orang tersebut secara kasap mata lebih rendah dari pada kita. Namun siapa yang tahu kalau orang yang kita anggap remeh ternyata memiliki ilmu yang banyak, memiliki derajat tinggi disisi Allah.

 

Dulu, semasa dipesantren para Kiyai dan guru-guru saya selalu mewanti-wanti kepada santri dan muridnya untuk tak menganggap remeh sesuatu yang ada didepan kita, tak menggap remeh seseorang walaupun di itu tukang ojek, tukang sampah, tukang bejak dan lain sebagainya. Karena sesungguhnya tinggi dan rendahnya derajat seseorang hanya Allah yang menentukan, bisa jadi orang yang setiap hari berkhotbah, memberikan nasihat diatas mimbar derajatnya lebih rendah dari pada tukang sampah, bisa jadi lebih rendah dari tukang ojek. Kita tak bisa menjamin derajat orang lain J

 

 

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *